Septi saat diwawancara oleh wartawan Harian Baraya Post |
#
CHAPTER 4 #
“ Kamu, siapa namanya?!” bentak seorang panitia MaBiS padaku. Aku kena
hukuman karena tak membawa karet gelang warna hijau dan merah.
“Saya Septi, teh...”
“Keluarin bajunya!ini bukan di SMA, tapi Madrasah!”
Aku menurut. Kukeluarkan kemejaku yang ku masukkan ke rok biruku.
“kamu dari pesantren? Pesantren mana?”tanya salah seorang teman MaBiS
padaku.
“oh, nggak, saya dari SMP...”
Ia hanya memandangku sedikit aneh. Heran kali. Aku pakai seragam SMP
tapi kerudungku ngejombrang. Yah..aku satu-satunya siswa baru yang mengenakan
kerudung lebar kayak karung(?). tapi aku pede aja.
Yah, aku kini sekolah di sebuah Madrasah Aliyah Negeri. Aku tak mampu
memenuhi tantangan pak Dedi. Nampaknya aku telah mengecewakannya. Aku merasa
kesulitan. Aku tak berhasil masuk
Smansa. Aku bahkan tak mencapai angka 30 untuk nemku. Nemku begitu kecil.
Lagi-lagi aku harus bingung mencari sekolah yang menerima siswa dengan nem yang
pas-pasan.
Aku berkeliling dengan abah, mencari sekolahan. Hingga abah ingat
sebuah Madrasah Aliyah. Aku mengerutkan kening. Madrasah?? Aku tak pernah
membayangkan itu. Terpikir pun tidak. Tapi ternyata, disanalah jodohku. Aku
melanjutkan ke Madrasah Aliyah negeri. Sekolah itu lumayan jauh dari rumahku.
Aku harus naik motor selama lima belas menit. Beruntung, sekolah itu masih di
lewati transportasi umum.
Sama seperti di SMP, Aku memutuskan untuk ikut dalam pemilihan pengurus osis dan mpk. Aku memang berniat
untuk melanjutkan keeksisanku di organisasi itu. Karena, aku sudah merasakan
manfaatnya. Aku bisa lebih mengasah kepercaya dirianku, banyak teman, dan
pengalaman. Aku juga mendapat ilmu tentang hubungan relasi dan keorganisasian
yang tidak ditemukan materinya di kegiatan belajar mengajar. Selain itu, aku
berpikir bahwa osis dan mpk adalah ladang dakwah yang bagus. Aku pun di terima
menjadi pengurus mpk komisi b yang mengurusi tentang program kerja osis, baik
jangka panjang maupun jangka pendek setelah menjalani masa pdks (pelatihan
dasar kepemimpina siswa).
-oOo-
Padahal ini sekolah berbasis islam, tapi para siswanya seperti tak
peduli dengan label itu. Buktinya, merka tidak begitu tertarik dengan kegiatan2
islaminya. Seperti RohIs. Sewaktu SMP, rohis adalah suatu hal yang sangat
membuatku sedih. RohIs di sekolahku itu mati suri sejak kepindahan sang pembina
yang selalu berjuang dalam mengaktifkan RohIs, yakni pak Halawi, seorang guru
sejarah favoritku. Aku sering berpikir dengan cara apa aku kembali menghidupi
RohIs, sedangkan aku tidak memiliki teman yang mau ikut peduli. Aku sering
menyesali diriku yang tidak berhasil dalam berdakwah, setidaknya mengajak
teman-teman mau mengaji. Walau ada sedikit rasa bangga dalam hati karena aku
masih istiqomah di tengah pergaulan bebas teman-teman yang terbawa arus
modernisasi. Entahlah... kupikir, mungkin Allah belum memberi izin padaku untuk
mengubah keadaan itu lewat tanganku, karena aku sendiri, masih lemah iman.
Hal itu ternyata tak jauh berbeda ketika aku bersekolah di Madrasah
Aliyah. Tadinya kupikir RohIs di sana hidup seperti RohIs di SMAN 1 Cilegon,
tempat Atul bersekolah. Namun melihat kenyataannya, sungguh miris. Terlebih
karena Rohis di sini tidak memiliki pembina. Masih di bawah asuhan OSIS.
Meskipun katanya para pengurus OSIS wajib menghadiri kajian setiap hari jumat
minimal dua minggu sekali, tapi tetap saja RohIs sepi. Terlebih ketika guru
yang sering mengisi acara rohis vakum
karena sedang melanjutkan kuliah. RohIs pun sekarat. Baru saat aku naik kelas
sebelas, kepala sekolah memutuskan untuk memisahkan rohis dari OSIS dengan
memiliki pembina sendiri, yakni yang menjadi pembina adalah pak Judiasa. Aku
pun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengadakan open house sekaligus dalam rangka menjaring peminat dari para siswa
kelas sepuluh yang baru beberapa minggu bersekolah di MAN. Untuk melancarkan
niatku, aku mengutarakannya pada pak Yudi yang menyambut baik dan menggandeng
beberapa alumni yang dulunya juga pernah berjuang di jalan ini.
“kepada seluruh pengurus osis dan mpk di harapkan berkumpul di
lapangan saat istirahat. Wajib.”terdengar
pengumuman dari speaker yang di pasang di setiap kelas. Aku pun
memenuhinya, karena aku memang termasuk dalam kepengurusan mpk. Tanpa disangka,
ke hadiranku disana ternyata untuk menghakimi beberapa pengurus yang kemarinnya
tidak hadir dalam rapat persiapan acara PDKS (Pelatihan Dasar Kepemimpinan Siswa).
Aku yang waktu itu tak hadir karena ikut rapat rohis, disuruh untuk membuat
lingkaran dengaan sekitar lima orang lainnya.celadisuruh berteriak mengucapkan
kalau kami malu menjadi pengurus OSIS dan MPK. Aku merasa terzhalimi karena aku
diperlakukan seperti itu di hadapan hampir semua penghuni sekolah. Di marahi,
di ejek dan di permalukan hanya karena aku tidak hadir dalam rapat kemarin dan
tidak izin.
Aku ingat, bertepatan dengan rapat itu, aku pun tengah melakukan rapat
bersama ketua rohis, kak Husein dan pak Yudi untuk membicarakan acara open house kami. Aku berpikir, tak apa
aku tidak hadir, toh aku lebih di butuhkan di RohIs. Di OSIS dan MPK sudah
banyak orang yang mengurusi.
Aku merasa terzhalimi karena walau bagaimanapun, kesalahanku hanya di
kehadiran yang itu pun baru kali itu aku lakukan. Sedangkan pengurus yang lain
yang aku yakin kesalahannya lebih banyak dan parah dariku tidak dihakimi
apa-apa. Hanya karena mereka dekat dengan orang yang berkepentingan di situ dan
kebetulan hadir sewaktu rapat kemarin. Entah sepenting apa rapat kemarin itu
sehingga yang tidak hadir di hakimi dengan tidak adil dan parahnya hal itu
dilakukan tanpa sepengetahuan ketua OSIS sendiri yang memang saat itu tidak ada
karena ada urusan.
Aku takut, dengan kejadian itu jadi membuat para siswa baru tidak
berminat masuk di RohIs karena ada aku yang sempat kena image buruk itu. Tapi
alhamdulillah, dengan perjuangan sang ketua juga sang pembina, RohIs berjalan
dengan lancar tak pernah absen dalam seminggu. Bahkan rohis mempelopori dengan
diadakannya menabung untuk hari raya qurban.
-oOo-
“Septi, mau ikutan nggak?” tanya Mia, teman sekelasku di sela-sela
waktu istirahat sekolah.
“Ikutan apa, Mi?”
“Lomba puisi. Tepatnya lomba cipta puisi Al quran...”
“Gimana maksudnya? Maaf, aku nggak ngerti..”
“Ikut aja dulu, ya? Penjelasannya nanti kalo udah daftar.”
Aku mengerutkan kening, berpikir sejenak. Akhirnya aku mengangguk. Di
coba dulu, tak apa kan?
Haha, jujur deh...sebenarnya aku kurang begitu mahir membuat puisi.
Aku juga tidak begitu suka. Kegemaran menulisku di dasari oleh prosa, bukan
puisi. Tapi kalau ada kesempatan, kenapa tidak?
Ternyata, lomba puisi yang di adakan oleh Kementrian agama nasional
itu lumayan rumit. Untuk membuat puisinya, harus di ambil dari kandungan ayat
al quran. Sedangkan, al quran itu juga bahasanya seperti puisi. Jadi, membuat
puisi dari puisi. Kita harus tahu dulu apa maksud dari ayat itu, kemudian
itulah yang di jadikan tema dalam puisi yang nanti akan di buat. Untuk pemula
sepertiku, itu benar-benar rumit. Apalagi ayatnya di tentukan oleh panitia.
Walau awalnya aku coba-coba, ternyata membuahkan hasil. Aku berhasil
lolos seleksi lomba dari MA se-kota cilegon yang nantinya akan di kirim untuk
ikut seleksi lagi ke provinsi.
Aku shock sekaligus senang. Di provinsi aku kembali terpilih untuk
ikut seleksi ke nasional. Ini adalah pengalaman pertamaku. Sungguh membanggakan
walaupun pada akhirnya aku tak menjadi juara nasional. Tapi setidaknya, dengan
ini kemampuanku semakin terasah dan semakin meyakinkanku untuk menjadi seorang
penulis.
Aku ingin menjadi penulis. Selain aku mencintai buku, aku juga ingat
kutipan dari imam al ghazali. Beliau mengatakan, jika kalian tidak menjadi
apa-apa, jadilah penulis. Karena itu dapat melembutkan hati.
-oOo-
Setiap hari sabtu, semua siswa diwajibkan ikut Pramuka atau PMR. Aku
memilih untuk ikut Pramuka. Kupikir, di Pramuka pasti kegiatannya asik dan
menyenangkan. Namun ternyata pandanganku salah. Pramuka terlalu berlebihan
dalam segala hal. Dan satu yang paling tidak kusukai dari pramuka adalah
kegiatan upacara malam hari yang ada ‘ritual’ mengelilingi api dengan
mengucapkan dasadarma juga trisatya. Tidakkah menurutku itu suatu hal musyrik?
Layaknya seperti para penganut majusi, para penyembah api. Apa tiak ada hal
lain yang dilakukan?
Selain kegiatannya yang membuat keningku berkerut, aku pun tidak suka dengan
para kakak-kakaknya berperilaku tidak baik. Karena tidak tahan, aku pun
perlahan-lahan keluar dari sana tak peduli mendapat poin pelanggaran dari BP
karena pramuka adalah kegiatan wajib.
Keluar dari pramuka, aku beralih pada Teater. Klub yang termasuk
kedalam komunitas seni MANcil ‘Banyu Biru’ ini resmi menjadi sebuah ekskul
ketika aku dan sekitar 15 orang temanku ikut audisi teater untuk lomba dan
berhasil menjadi juara 1 se-provinsi dalam ajang festival teater yang diadakan
di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Selama dua tahun aku aktif di klub itu,
sudah tiga kali aku ikut lomba, dengan sekali menjadi aktris dan dua kali hanya
menjadi kru.
Kurasa, berkecimpungnya aku di dunia teater semakin mendekatkanku pada
cita-citaku sebagai penulis. Karena di teater ini kami diajari cara membuat
cerita yang menarik, dan berimajinasi tinggi.
Setiap ada tugas drama, baik itu di mata pelajaran bahasa atau seni, aku
selalu diminta untuk membuat naskah dramanya. Sewaktu ujian praktek seni
semester ganjil kelas dua belas ipa dua beberapa waktu lalu, aku berhasil
menjadikan naskahku yang terbaik. bagitu pula dengan pementasannya, teater
garapanku menjadi yang terbaik di kelas. Kini, aku kembali dipilih sebagai
penulis naskah sekaligus aktris dan sutradara di kelasku untuk pagelaran
pementasan teater dalam rangka ujian praktek untuk kelulusan. Sebagai
sutradara, Tanggung jawabku begitu besar karena nilai teman-teman sekelasku
tergantung padaku. Aku harus mempersiapkan segalanya jauh jauh hari. Mengatur
teman-teman, latihan setiap ada waktu luang, dan menyiapkan mental teman-teman.
“Temen-temen! Selesai KBM ga boleh pulang! Kita latihan teater!”
teriakku ketika jam KBM hampir berakhir. Kudengar sebagian besar dari mereka
mengeluh.
“aktornya aja yaa...crew mah pulang...yaa??”
“enak aja! Ga fear dong!”
“dari pada kita ga ngapa-ngapain? Cuma nonton aja..”
“Bu Sut, istirahat dululah sampe jam tiga...laper nih...”
“Ya. Pokoknya aku kasih waktu sampe jam tiga harus udah pada kumpul!”
kataku.
“Bu Sut! Kata produser, mana laporan latihannyaa plus absen?? Ditunggu
ampe besok!”
“Laporan itu bukan aku yang ngurusin, minta ke astrada aja!”
“Septii...aku izin yaa..mau ada keperluan. Boleh yaa??”
“Septi, properti untuk setting panggungnya masih bingung..-_-“
“Septi, dianya ga mau pake kostum ini!”
“Uuh.. bu Sut, masih banyak yang belum bayar iurannya! Kitanya bingung
mau beli keperluan panggungnyaa..”
Aku tersenyum kecut. Pusing.
Di setiap akan latihan, mereka paling susah untuk memulai. Aku harus
menggiring-giring untuk masuk ke dalam ruangan, menyuruh untuk segera memainkan
setiap peran masing-masing.
“Romi, ekspresi apa itu? Kamu lagi marah lho sama Agus, bukan lagi
bercanda..” tegurku pada Romi, sang pemeran utama.
“Uuh...gimana, sih?!”
Dalam satu kali latihan, per adegan bisa diulang hingga sedikitnya
tiga kali. Selalu saja ada kesalahan. Entah salah bicara, lupa adegan, masih
canggung, bercanda terus sampai ada yang ngambek juga.
“Aguuss....kamu kan belum di pukul, kenapa udah jatuh duluaann?!?”
“Asep, kamu kurang panik. Ga ada feel-nya!”
“Backsoundnyaa...backsoundnyaa..bukan yang itu! Itu backsound untuk
adegan berapa?!”
“Hei! Serius doong!!”
“hayo..hayo.. bu Sut-nya sewot.. awas ngamuk!”
“Josephine? Yang jadi Josephinenya manaa??”
“pulang”
“Apa?!”
Aku hanya bisa mengurut dada menyikapi semuanya. Setiap tiga hari
dalam seminggu, selepas KBM, selama hampir 3 bulan, kami selalu latihan demi
menyukseskan pagelaran yang mengambil nilai ujian praktek itu. Walaupun lelah,
kami merasa senang. Selain bisa berkumpul bersama teman-teman, teater merupakan
hiburan yang mujarab sehabis bimbel yang memeras otak.
“Septi, ada kabar buruk!” lapor salah seorang teman sekelasku yang
tergabung dalam tim produksi. “Besok kita tetap belajar full. Sabtunya juga
sama. Kita nggak diberi kesempatan untuk gladi. Satu-satunya kesempatan kita
hanya hari jumat..”
“lho? Kok gitu, sih? Masak nggak ada gladi? Trus pasang panggungnya
gimana?”
“nggak tahu. Kata kepsek bolehnya pasang panggung setelah kbm di hari
sabtu..”
“setelah kbm? Hari sabtu? Yang benar aja! Emang masangnya nggak lama
apa? Trus, kita latihan untuk lightingnya gimana?? Sedangkan yang megang
lighting nggak pernah nyoba..minggunya kan kita udah tampil!”
“kalo kata guru matematika, sih katanya, milih teater atau ujian
nasional??”
“ya ampun. Nggak pengertian banget, sih? Katanya nggak boleh nyepelein
ujian praktek. Kenapa jadi begini?!”
“iya. Kalo pagelaran teater asal jadi mah, nggak serulah...”
Kejadian ini sempat membuat ketegangan di antara siswa, guru dan
kepsek. Para siswa meminta untuk di beri kesempatan leluasa mempersiapkan
teater sebaik-baiknya yang di dukung oleh guru seni. Tapi tidak di beri
keleluasaan oleh guru matematika yang menjadi panitia UN dan kepsek. Di tambah
tidak ada dukungan dari guru-guru lainnya yang masa bodoh. Di minta untuk berpartisipasi
dalam membeli tiket pertunjukan, bisa di hitung jari guru yang mau membantu.
Terpaksa, kami mengikuti apa yang telah di tetapkan. Hari sabtu,
selepas kbm jam 3, kami mempersiapkan segalanya untuk hari minggu. Masang
panggung, mendekor, menyiapkan segala properti, memantapkan latihan, dengan
mencocokkan musik, set, kostum dan memastikan lighting. Sebagai sutradara, aku
tidak mau penampilan para aktorku tidak memuaskan di panggung nanti. Itu akan
menyia-nyiakan pengorbanan teman-temanku, mulai dari waktu, tenaga, pikiran,
hingga dana. Kurelakan pulang ke rumah jam sepuluh malam untuk memastikan
panggungnya. Karena kami memang tidak ada gambaran sama sekali dengan
panggungnya, berhubung tidak ada gladi.
Esoknya, pertunjukan teater dalam rangka ujian praktek siswa kelas dua
belas pun di gelar. Kelasku, giliran tampil ke tiga, satu jam sebelum waktu
duhur. Ada kesalahan dalam beberapa adegan, terutama sewaktu adegan siluet.
Lightingnya nggak karuan.
Akhirnya, pertunjukan berakhir dengan banyak komentar. Beruntung, dari
audience, sedikit yang berkomentar buruk.
Saat evaluasi, seluruh siswa kelas dua belas di kumpulkan. Evaluasi
ini di adakan untuk mengevaluasi hasil pertunjukan kami, sekaligus mengumumkan
beberapa kategori penilaian. Alhamdulillah, kelasku tak banyak yang perlu di
evaluasi. Hanya fokus pada masalah lighting dan beberapa maslah kecil.
Ada beberapa kategori penilaian. Dari juara umum, aktor dan aktris
terbaik, dan sutradara terbaik.
“ juara tiga, dari kelas....dua belas agamaa!!”
“horee...selamat..selamat..!”
“Juara duaa dari....” pa wawan, juri teater yang mengumumkan hasilnya,
melirik ke arah kami, dua belas ipa dua.
“kelas dua belas...ipa...dua...dikurangi satu!!”
Huufftt...what the hell?? Kami nggak jadi yang kedua? Lalu?
“dan juara umumnya adalah....dua belas, ipa....DUA!!”
“Yeee!!!” kami, anak kelas dua belas ipa dua bersorak gembira.
“untuk kategori aktor terbaik, di raih oleh Hafidz, dari kelas dua
belas ipa dua!”
“Selamat, Hafidz!!” kami kembali bersorak dan memberi selamat pada Hafidz.
“dan kategori aktris terbaiknya, di raih oleh Septi!”
“hah?”
“ Yee...selamat Septi!!”
“sedangkan untuk kategori sutradara terbaik, di sandang oleh... Septi
lagi!!”
Aku bengong. Apa? Aku meraih dua kategori sekaligus??
Terus terang saja aku tak menyangka. Kerja kerasku, ternyata
membuahkan hasil...
-oOo-
Jujur saja, aktifitasku selama SMA lebih banyak dihabiskan di sekolah
dari pada di luar sekolah. KBM yang sampai menjelang sore, keaktifanku di OSIS
dan MPK, Rohis, Teater dan menumpuknya tugas tugas sekolah. hampir setiap hari
aku pulang lebih dari jam 5 sore. Bahkan, hampir setiap hari minggu pun waktunya
dihabiskan di sekolah. Sampai orang tuaku mengeluhkanku yang hampir setiap hari
sekolah tanpa henti. Tapi alhamdulillah selama hampir tiga tahun ini orangtuaku
tidak pernah melarangku dan memintaku untuk berhenti dari aktifitasku di
sekolah.
Aku melakukan ini semua bukan hanya sebagai pengisi waktu, tapi ingin
mendapatkan pengalaman sebagai usaha pencarian jati diri dan ingin menempa
diriku agar menjadi orang yang kuat, bijaksana dan tegar. Selain itu,
ketidakberhasilanku di akademik bisa kubayar tuntas. Aku ingin membahagiakan
keduaorangtuaku dengan caraku sendiri. Semoga apa yang selama hampir 18 tahun
usiaku lakukan ini meraih pahala dari Allah S.W.T. amiin...
Cilegon, 30 Maret 2012
Catatan admin: Septi adalah alumni Anak Juara RZ Cilegon. Sekarang Septi melanjutkan kuliah di salah satu Universitas di Bandung. Kita do'akan semoga semua yang dicita-citakannya tercapai dengan baik. Amiin
0 comments
EmoticonEmoticon