Minggu, 28 Desember 2014

Perjalanan Meniti Asa seorang Septi #2

Septi saat mengikuti pelatihan menulis buku di dapurbuku.com
# CHAPTER 2 #
Aku tahu, dan aku menyadari, kalau aku bukan anak yang pintar. Nilaiku selalu pas-pasan, walaupun ketika aku kelas lima, aku pernah menjadi siswa dengan nilai tertinggi di ulangan harian IPA. Aku juga sering dapat peringkat walaupun tak menembus lima besar.
Lulus SD, umi mendaftarkanku ke sebuah SMP terfaforit di kota Cilegon. Sebenarnya, aku ingin sekali melanjutkan ke pesantren. Aku ingin sekali mendalami ilmu agama. Tpi umi sudah mendaftarkanku ke SMP. Karena itu sekolah favorit dan standar nasional, tentu banyak peminatnya dan yang mendaftar harus menjalani tes tulis.
Aku tidak beruntung. Aku tidak berhasil masuk. Nilaiku kurang 0,8 lagi. Aku pulang dengan langkah gontai. Tapi aku penasaran dengan hasil temanku, Lili. Ia juga ikut tes tulis di sana. Aku pun menemui Lili. Dan ternyata, hasil Lili sama persis denganku. Aku tidak langsung pulang ke rumah. Lili mengajakku ke rumahnya. Kami mengobrol, membicarakan tentang hasil tes kami, hingga datanglah ayah Lili yang seorang pejabat dinas. Beliau menanyakan hasil Lili dan Lili menjawabnya dengan jujur. Aku sangat terkejut ketika mendengar reaksi ayah Lili.
“Oh iya, bapak lupa nitip ke anu...”katanya. beliau pun dengan buru-buru kembali pergi.
Dan esoknya aku mendengar kabar kalau Lili berhasil masuk ke SMP favorit itu. Tentu saja aku tidak terima. Itu curang. Tapi apa mau di kata?aku tak dapat memprotesnya.
Lepas dari situ, umi pun mencari sekolah yang cocok. Mengubek-ubek brosur sekolah-sekolah dan mengadakan survei ke sana ke mari. Akhirnya, Umi pun menemukan sebuah sekolah negeri yang aku sendiri baru kali itu mendengarnya.
SMP N 8 Cilegon.
Sekolah itu jauh dari kota. Makanya jarang terdengar namanya. Orang-orang bilang, sekolah itu tempat pelarian anak-anak yang tidak di terima di sekolah pilihan mereka, selain anak-anak sekitar sekolah itu pastinya.
Aku tak peduli. Yang penting aku bisa melanjutkan sekolah.
Untuk menuju ke sekolah itu, aku harus naik motor selama hampir satu jam. Melewati sawah, perkebunan, pabrik bata, dan jalan bukit yang berkelok-kelok dan sepi. Ruamah penduduknya masih terlihat jarang. Aku suka membayangkan seberapa seramnya daerah itu jika malam hari. Asal tahu saja, di sana tidak ada transportasi umum tetap. Ada juga angkot jurusan anyer yang suka beroperasi ketika si pemilik akan narik penumpang ke jalan kota.
Maka dari itu, sekolah mengadakan mobil jemputan untuk para siswanya yang rumahnya jauh dari sekolah. termasuk aku.
Setelah melalui proses pendaftaran, aku pun di terima sebagai siswa baru di sana. Siswa yang berasal dari SD yang sama denganku tak banyak, hanya tiga orang. Itu pun dua orang laki-laki. Aku hanya sendirian. Tak ada yang kukenal di sini. Aku pun berkenalan dengan anak perempuan yang  satu jemputan denganku. Tak kusangka, tidak lama aku di sekolah ini, aku sudah banyak memiliki teman baru. Dengan wajah baru dan pengalaman yang baru tentunya. Aku hanya tertawa kecil menyadari kenyataannya, bahwa memang sekolah ini di penuhi oleh anak-anak yang tadinya tidak di terima di sekolah favorit mereka.
Aku punya geng. Anggotanya enam orang yang sekelas denganku. Mereka semua bernasib sama denganku. Tidak di terima di sekolah favorit itu. Kami memiliki couple masing-masing. couple-ku adalah Hana. Hana adalah siswa yang berasal dari SD yang bertetanggaan dengan SDku. Dia sering curhat padaku, terlebih tentang cinta monyetnya yang sering kandas.
Diantara enam orang ini, kami selalu bersaing dalam mengejar nilai. Walaupun di luar kami kompak, tapi tidak saat pelajaran. Kami memiliki talenta masing-masing yng bermacam-macam.
Nana, dia pintar menggambar dan mewarnai. Ia bercita-cita sebagai seniman. Ia juga sedikit pintar matematika. Tadinya, aku senang padanya karena ia pakai kerudung dari SD. Tapi sangat di sayangkan, pergaulan membuatnya rela menanggalkan kerudungnya.
 Selanjutnya ada Dea, gadis berkaca mata ini banyak di sukai anak laki-laki. Selain pintar bahasa inggris, ia juga hobi menggambar seperti Nana. Anakanya manja dan cengeng. Hal itu membuat ia sering di bully oleh Nana dan Nia.
Nia, dia itu terlalu polos. Anak guru SD yang selalu mendapat peringkat satu saat SDnya. Hal itu sempat ia pertahankan di SMP kelas tujuh. Sayang, lagi lagi pergaulan yang membuat prestasinya merosot tajam. Bahkan ia sepertinya lupa bagaimana belajar. Contekan jadi jalan pintas baginya.
Massitoh, haha anak ini terlalu terobsesi dengan mode anak jaman sekarang. Ia suka sekali bernyanyi meski sebenarnya suaranya fals menurutku. Kemudian Hana, dia sebelas dua belas dengan Nia. Bedanya, dia memang dari SD ga pernah dapat peringkat. Tapi dia hobi bikin puisi.
Dan terakhir, aku. Teman-teman bilang aku lumayan diandalkan dalam pelajaran sejarah. Aku selalu mendapat nilai tertinggi. Hasil karya gambarku juga saingan dengan Nana dan Dea. Pada dasarnya, kemampuan senikulah yang di akui teman-teman dan juga guru-guruku. Aku pun tergabung dalam anggota tetap Paduan Suara sekolah yang kemudian aku menjadi lead vocalnya. Aku sering di mintai pendapat oleh Hana atau Massitoh tentang puis-puisi buatan mereka. Awalnya aku bingung, kenapa tanya padaku? Jujur, aku tak begitu suka dengan puisi.
Herannya, aku di kenal orang karena puisi. Aneh, ya?
Aku senang, persahabatan di antara kami berlanjut walau kami pisah kelas, bahkan geng kami bertambah anggotanya. Aku masuk kelas 8 E. letak kelasnya, ada di pojok. Banyak rumor katanya kelas itu seakan di kutuk. Karena siapapun yang masuk kelas itu anak-anaknya pasti suka ribut. Hmm..aku jadi agak tersinggung. Tapi ternyata itu bohong. Kelasku adem-ayem aja tuh...yang ribut malah tetangga sebelah, 8D, kelasnya Hana.

                                                                                  -oOo-

“Septi, kamu mau ya jadi kandidat ketua OSIS?”
JRREENGG!!
Aku lumayan shock mendengar tawaran Pak Tulus, wali kelasku. Bagaimana tidak? Aku yang tidak tahu menahu soal organisasi ini malah di tawari jadi kandidat. Tradisi di sekolahku, dalam pencalonan pengurus OSIS itu di pilih dari pengurus inti kelas, yang KM, waKM, sekretaris dan bendahara. Kebetulan aku terpilih sebagai wakil KM. Aku bingung. Andai kata saat kelas tujuh aku sempat terpilih sebagai pengurus OSIS, mungkin tak masalah..
“Valdi aja deh, pak...dia kan KM...”tolakku.
Tapi pak Tulus menolak mentah-mentah, berhubung beliau tahu persis sifat Valdi. “Kalo gitu kenapa nggak Tika aja pak? Dia bendahara. Dia juga sempet jadi pengurus...”
“E..ehh...nggak..nggak...udah Septi aja!”potong Tika cepat.
Aku menyerah. Kuyakinkan diriku untuk menerima tawaran sebagai kandidat ketua OSIS. Bisa. Pasti bisa. Seorang pemimpin harus memiliki visi dan misi. Aku pun kelimpungan bertanya sana-sini tentang apa itu visi dan misi. Dan apa yang harus kulakukan dengan visi dan misi itu. Tak ada yang bisa ku tanyai, berbagai buku menjadi refrensiku. Aku tak mencari apa itu arti visi dan misi. Tapi aku langsung melihat ke contohnya.
Hingga saat itulah tiba, di mana aku harus berkampanye, memaparkan visi dan misiku kepada seluruh siswa yang berkumpul di lapangan upacara.
“Siapa yang mau duluan?” tanya pak Fauzul, guru PKN kami. Ada empat kandidat ketua. Ada Eki, Fina, Irni dan aku.
“oke, kalau begitu di undi ya?”
Pak Fauzul membuat empat buah kertas kecil yang di tulisi nomor, kemudian di gulung. Lalu Pak Fauzul mengocoknya. Aku berdoa dalam hati agar aku bukan orang yang pertama.
“Septi yang pertama!!”seru Eki membuatku membelalakkan mata. Tidaaakk...dengan berkeringat dingin, jari-jari sebeku es, dan kaki gemetar, aku melangkah menuju podium. Sungguh tak disangka, ini pertama kalinya aku menatap banyak pasang mata dan banyak pasang mata yang menatapku sendirian. Mereka, aku bisa melihat teman-temanku. Terutama teman se gengku duduk di baris paling depan dengan membawa bannerku. Aku tersenyum.
“Halo, assalamu’alaikum....”aku mengucapkan salam dengan suara sedikit tercekat di tenggorokan. Aku berusaha untuk setenang mungkin dan rileks. Aku terdiam sejenak, mengingat teks visi dan misi yang beberapa hari terakhir kuhapal.
Percaya atau tidak, setelah pemilihan ketua osis berlalu, hasilnya jadi aneh. Aku memang tidak terpilih sebagai ketua OSIS, tapi aku malah di angkat menjadi ketua MPK (Majlis Permusyawaratan Kelas) yang posisinya keorganisasiannya berada di atas OSIS.

                                                                                -oOo-

“Hana, aku ga mau ikut latihan lagi, ah...nanti ketinggalan pelajaran Biologi. Bu watinya marah lagi...”kataku pada Hana.
“Iya. Aku juga sama. Tapi kita udah di panggil...”
“Yaudah, jangan berisik, kita pura-pura kesana aja, ngumpet di belakang situ. Kalo kak Widi udah lewat, kita balik lagi ke kelas...”ujarku, memeberi saran.
“Hayoo...mau kemana?mau kabur, yaa..??”kata kak Widi saat melihat aku dan Hana berdiri di balik dinding mushola. Ketahuan. Aku dan hana hanya bisa tersenyum kecut. Dan akhirnya terpaksa untuk ikut latihan.
Itu waktu kelas tujuh. Aku tergabung ke dalam Paduan Suara sekolah. kami latihan setiap hari kamis, dua jam pelajaran terakhir. Gara-gara latihan itu, aku sering izin untuk tidak ikut pelajaran biologi, jadwalku saat itu. Bu wati, guru biologi pun marah. Katanya, mau pilih paduan suara atau belajar. Tentu saja itu sebuah gertakan. Bersyukur, akhirnya bu Riri, guru yang mengajari padus mengerti dan latihan di ganti ke hari jumat, hari ekskul. Padus memang sebelumnya bukan termasuk ekskul. Tapi akhirnya jadi ekskul. Yang menyebalkan, jika sudah ikut padus, tidak boleh ikut ekskul lain. Jadilah selama tiga tahun, aku ikut ekskul padus.
Aku sempat ikut lomba solo vocal se-SMP kota cilegon. Selam liburan kenaikan kelas tiga, aku latihan hampir setiap hari. Tapi saat perlombaannya berlangsung, saking nervousnya aku mengambil nada yang salah di awal. Jadinya aku harus memakai suara faseto untuk mencapai nada tingginya. Selesai bernyanyi, aku menangis. Aku terlalu malu.
Saat upacara hari kemerdekaan, aku termasuk anggota yang dua kali di kirim ke pemkot untuk menjadi paduan suara di upacara kemerdekaan yang di adakan pemkot di lapangan heliped.

                                                                              -oOo-

0 comments