Septi saat mengikuti lomba membaca puisi di LDK Expo tahun 2010 |
#CHAPTER
3
Kelas sembilan tiba. Aku sedikit takut menghadapinya. Bukan karena
ingat ujian nasional, tapi aku lebih berpikir ke teman-teman yang menjadi teman
sekelas dan guru-guru yang bakal mengajar.. aku sekelas dengan Hana. Tapi aku
juga sekelas dengan sebagian besar orang yang tidak kukenal. Apa lagi saat tahu
Didi dan Sony masuk ke dalam kelas yang sama. Kelas 9D. didi itu siswa berperawakan
tinggi besar dengan wajah seram yang dingin. Dia termasuk siswa pintar dan
ambisius. Sedangkan Sony, dia siswa pintar yang sejak SD selalu meraih
peringkat satu di kelas, selain itu, dia juga orang yang sempat kusukai. Aku
begitu merasa minder. Aku masuk ke kelas yang terdapat orang yang ku hindari.
Didi itu musuh bebuyutanku di kelas. Anak itu selalu membuatku
kesulitan saat pelajaran. Apalagi saat pelajaran IPS. Karena kekurangan guru,
bu Sofi yang harusnya hanya mengajar ekonomi, jadi merangkap mangajar sejarah
dan juga geografi. Maka dari itu, bu Sofi memakai metode presentasi siswa agar
anak-anak tidak bosan melihatnya berkali-kali menerangkan pelajaran di depan
kelas. Tapi itu suatu hal yang ku benci. Karena gara-gara itu, Didi selalu
melontarkan pertanyaan ynang sulit-sulit padaku. Apalagi aku ini kuper. Bahkan
aku tidak tahu perusahaan apa saja yang ada di kota cilegon ini. Aku hanya tahu
PT. KS. Saat pelajaran agama pun, aku sering berdebat dengannya.teman-teman
sekelaskulah yang tahu bagaimana keadaan kami. Anak itu terlalu tidak mau
mengalah.
Banyak guru yang asing adalah salah satu keminderanku. Apalagi, saat
kedatangan guru seni baru.
“Guru seni kelas sembilan bukan ibu lagi, tapi di ganti oleh guru baru
dari SMP mardiyuana.”kata bu Nining, guru seni yang sudah dekat
denganku.”gurunya laki-laki..”
Haduh, sudah diganti, berasal dari sebuah sekolah kristen terkenal di
kota, laki-laki pula. Aku tidak senang dengan guru laki-laki. Tapi bu Nining
meyakinkanku kalau guru baru itu menyenangkan.
“beliau juga sangat pintar menggambar. Kamu bisa langsung minta ajari
tekniknya..”bu Nining tahu, aku suka menggambar. Bu Nining bilang, guru baru
itu guru seni rupa lulusan IKJ.
Aku pun mencoba mengintip ke kantor saat pagi-pagi. Penasaran dengan
sang guru baru. Kata anak-anak kelas lain, orangnya lucu dan selalu bikin
ketawa. Tapi saat aku melihat, guru baru itu juga melihatku dan sempat memberi
senyum. Buru-buru aku pergi. Lucu apanya?kumisnya? kataku dalam hati.
Hari selasa, jam pertama dan kedua adalah jadwal pelajaran seni. Aku
sudah tidak ada semangat. Muncullah guru baru itu..
“pak, namanya siapa?”tanya ardi, temanku yang sering ngocak.
“nama saya Dedi “jawab guru itu singkat sambil tersenyum.
“panjangannya siapa?”tanya Didi.
Guru baru itu pun menulis nama panjangnya di papan tulis.
Dediiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...................................
Tentu saja hal itu membuat teman-temanku tertawa. Tapi aku tidak
tertawa. Bagiku itu tidak lucu.
“haha..nama saya Dedi Ardiansyah..”
“wah! Sama dong pak, nama saya juga Ardiansyah!”sahut Ardi. “susah yah
pak, cari nama orang ganteng mah...”lanjutnya yang membuat teman-teman
menyorakinya. Sekali lagi aku tidak ikut-ikutan. Mungkin, karena menyadari hal
itu, pak dedi mengajakku bicara dengan menanyakan siapa namaku. Aku menjawabnya
singkat.
Kami langsung mengadakan praktek. Prakteknya di suruh menyanyi dua
buah lagu. Yang satu lagu berbahasa indonesia, satunya lagi bahasa inggris. Pak
Dedi menentukan gilirannya dengan sesuai tanggal pada hari itu.
“tanggal berapa ini?”tanyanya.
“tiga puluh paak..”
“ya, kalau begitu nomor absen tiga puluh yang pertama..”
Yang benar saja! Aku berteriak dalam hati. Nomor absenku tiga puluh.
Beruntung, prakteknya di tunda minggu depan karena waktu pelajarannya telah
habis. Aku pun sibuk mencari lagu yang tepat untuk ku nyanyikan nanti.
Hari itu pun tiba. Aku menyanyikan lagu yang pernah kunyanyikan saat
ikut lomba solo vocal beberapa waktu lalu.
“Lestari alamku, lestari desaku, di mana tuhanku menitipkan aku...nyanyi
bocah-bocah di kala purnama...”
Sedangkan lagu bahasa inggrisnya aku pilih lagu Avril Lavigne yang
berjudul Innocent. Pak dedi memujiku. Katanya suaraku bagus. Haha, tentu saja
aku senang. Aku juga berhasil mengalahkan Didi dalam bernyanyi bahasa inggris.
Saat itu Didi menyanyikan lagu simple plan, perfect. Ternyata nyanyiannya tak
se-perfect lagunya.
Siapa yang menyangka? Ternyata guru baru itu memang menyenangkan.
Setiap waktu pelajaran seni, kami seperti tak sedang belajar. Pak Dedi suka
menyuruh meminjam buku paket seni ke perpustakaan. Bukan untuk di baca, tapi
untuk di lihat gamar-gambarnya sambil mengobrol ngalor-ngidul dan sharing.
Setiap melihat ada foto gedung teater, pak Dedi selalu bilang, “kapan sekolah
ini punya gedung teater? Kalo besok udah punya, nanti saya suruh
tetangga-tetangga saya nonton teater di sini..”
Suatu ketika, pak Dedi tiba-tiba bilang padaku di depan teman-teman,
“kamu cocok main teater. Wajah kamu punya karakternya...”
Pak Dedi lebih sering bercerita tentang pengalaman hidupnya yang
terdengar aneh dan ekstrim di telinga teman-teman.
“saya dari bandung. Tinggal dengan paman saya, karena orang tua saya
sudah nggak ada. Paman saya itu seorang kiai. Waktu saya memilih untuk kuliah
di jurusan seni rupa. Paman saya marah sampai-sampai saya di kejar-kejar pake
golok...” ceritanya.
“beliau bilang, seni itu sesat. Tentu saja saya membantah. Dan saya
keukeuh dengan jalan saya. Akhirnya saya ngga pulang-pulang ke rumah. saya ke
mana-mana. Saya juga berteman dengan siapa saja. Mau dia beragama kristen,
hindu, budha, bahkan ateis...kalo kalian ke IKJ, jangan heran liat
orang-orangnya. Kamu bakal dengan mudah menemukan orang-orang aneh. Termasuk
saya...”
“saya ini peminum. Setiap hari saya minum. Bahkan saat mengajar di
sekolah pagi-pagi, anak-anak pasti tahu kalau saya habis minum. Sekarang ginjal
saya rusak. Saya hampir tewas gara-gara minum. Saya tidak pernah minum di
hadapan orang lain. Saya selalu mengurung diri di kamar saya setiap saya akan
minum. Dan waktu saya sekarat, tidak ada yang tahu. Beruntung, setelah beberapa
jam, ada orang yang tahu dan saya pun di larikan ke rumah sakit...
“dokter bilang hidup saya ngga lama lagi. Tapi ternyata tuhan masih
sayang sama saya. Saya masih di beri kesempatan hidup dengan ginjal yang sudah
rusak. Setiap sabtu saya ngamen di jakarta sampe sekarang. Saya butuh uang
banyak untuk biaya saya cuci darah setiap seminggu sekali..
Pak Dedi, secara tidak langsung memberi banyak pelajaran bagi kami.
Melalui cerita pengalaman hidupnya, aku bisa mengambil hikmah bahwa kita harus
berpikir terbuka dan positif. Jangan melihat dari orang lain dari lahirnya.
Bertanggung jawab atas apa yang di lakukan, dan ingat pada apa tujuan kita
hidup.
-oOo-
Pembagian rapot semester satu
sebentar lagi. Aku harap-harap cemas. Takut nilaiku merosot. Aku juga
tidak ingin kehilangan wajahku di hadapan teman-teman se-gankku yang tersebar
di kelas lain. Sewaktu kelas delapan aku berhasil menembus peringkat dua. Kalau
aku tak bisa menembus peringkat sepuluh besar, itu keterlaluan.
Aku dapat kabar kalau teman-teman se-gankku semuanya telah mendapat
peringkat. Bahkan Tika, kembali peringkat satu. Galau. Aku menunggu wali
kelasku muncul membawa rapot dan berita siapa yang dapat peringkat.
“udah?”tanya Eki saat bertemu denganku. Aku menggeleng. Dia sih, sudah
tenang. Eki juga mampu mmpertahankan posisinya di peringkat satu, walau katanya
nilainya lebih kecil dari tahun lalu. Aku menunggu di kelas bersama Hana dan
juga teman-teman yang lain. Hingga tiba-tiba Didi masuk dan menatapku dengan tatapan
yang tak kumengerti. Tak lama, bu Dede, wali kelasku pun masuk dengan membawa rapot.
“ibu akan mengumumkan siapa yang masuk di sepuluh besar...”bu Dede
mulai mengumumkan siapa saja yang menduduki peringkat. Dari peringkat sepuluh
ke peringkat enam, namaku tidak disebut. Aku semakin cemas. Apa aku tidak
berhasil?
“peringkat lima, ada Saefullah..peringkat empat,
Rokhimanto...peringkat tiga, Didi jumaidy...”
Hilang. Sudah hilang kesempatanku! Aku tidak tembus peringkat sepuluh
besaaaarrr!!
“peringkat dua, Sony Facific...”
Aku..nggak dapat peringkat...hiks,
“Aih? Kamu ko kedua sih, Son?”tanya teman-teman.
“mana saya tahu..”Sony angkat bahu sambil tertawa kecil.
“siapa, bu yang ke satu??”tanya teman-teman tidak sabar.
“siapa coba? Ayo di tebak...”
“Septi”
“Hah?”
“Septi. Ya kan, bu?”sahut Didi.
“Iya”
Sungguh. Aku seperti orang dungu saat itu. Aku melongo, dengan mata
melebar dan mulut menganga. Aku..tidak salah dengar, kaaann??
“Septii...kamu rangking satuu!!”seru Dita, teman sebangkuku senang
sambil memelukku.
“He? Benarkah?”tanyaku tak percaya. “Benarkah ini??”
Kelas sudah bubar dan bu Dede juga sudah keluar. Teman-teman sekelasku
datang mengerumuniku yang masih duduk terpaku. Merek memberi selamat padaku.
“Congratulation”ucap Didi padaku sambil tersenyum yang terlihat
seperti sebuah ejekan.
“Eh?” aku menatap tangan Didi yang terulur di depanku. Aku tak mungkin
menyalaminya. Jadi aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Didi pun
pergi.
“waah..selamat yaa..”
Aku tertegun. Masih tak percaya. Selama ini aku merasa aku gagal. Tapi
ternyata aku telah mengalahkan Didi. Aku juga menyaingi Sony. Aku..berhasil!
ini adalah suatu terobosan dalam hidupku. Aku, akhirnya bisa menjadi yang
pertama.
-oOo-
Setiap malam di akhir bulan, aku di ajak tetehku, ummu untuk ikut
berkeliling menagih uang ronda ke tetangga se-Rt. Dan kami mendapatkan bayaran
dari itu. Bayaran yang tak seberapa itu di bagi dua. Bukan untuk apa-apa. Kami
menggunakannnya untuk membayar mobil jemputan sekolah. aku dan tetehku itu
memang bersekolah di tempat yang sebelas dua belas. Kalau aku di SMP 8, tetehku
di SMA 3 nya yang letaknya tak begitu jauh dari sekolahku. Walaupun abah telah
mendapatkan pekerjaan sebagai herbalis, penghasilannya belum mencukupi. Jika
belum mendapatkan uang di akhir bulan, aku sering takut naik mobil jemputan.
Karena pasti akan di tagih bayarannya.
Aku selalu berpikir, kapan keadaan ekonomi keluargaku membaik? Aku
tahu, aku harus lebih giat belajar. Aku harus lulus dan melanjutkan sekolahku
ke SMA. Setelah itu, aku mesti memikirkan cara, bagaimana aku mengabdikan
hidupku untuk keluargaku. Untuk abah dan umi.
Aku, sangat suka membaca. Tulisan apapun yang terlihat oleh mataku,
aku pasti akan penasaran untuk membacanya. Jika itu menarik, tak jarang aku
mengingat-ingatnya atau membacanya lagi berkali-kali. Di rumahku, banyak sekali
buku koleksi milik abah. Abah dulu juga pecinta buku. Buku-buku yang ada di
rumahku ini koleksinya saat masih muda. Setiap ada waktu, aku selalu melihat
buku itu satu persatu dan membacanya sampai tamat. Yang membuatku bosan,
buku-buku abah semuanya non fiksi dan berat. Tak jarang aku membongkar
kardus-kardus yang berisi buku2 lama abah untuk mencari majalah. Dan aku
menemukan beberapa majalah ummi dan Annida edisi jadul. Karena tidak ada lagi,
aku sering membacanya berkali-kali.
Hingga suatu hari, aku menemukan sebuah buku tebal berwarna hijau di
meja Itoh, tetehku. Penasaran, aku mengambilnya. Aku histeris. Ternyata itu
adalah novel HARRY POTTER and the Half Blood the Prince yang belum lama ini
terbit. Tentu saja aku senang sekali. Tahu tidak, sih? Itu adalah novel Harry
Potter pertama yang kupegang. Aku sangat menyukai cerita Harry Potter. Pertama
kali aku tahu, aku melihat film itu Dvd di putar oleh teman tetehku saat aku
dan tetehku main ke rumahnya. Tapi waktu itu aku masih kelas satu SD dan aku
belum mengerti. Aku mulai terhipnotis oleh Harry Potter ketika aku menontonnya
di TV rumah nenekku saat kelas delapan. Ketika itu, yang di putar di TV adalah
HP seri ke tiga. HARRY POTTER and the Prisoner of Azkaban. Ceritanya
menakjubkan dan seperti sungguhan.
Mulai saat itu, aku mencari tahu tentang HP. Aku juga meminta tetehku
yang sudah tahu ceritanya dari seri pertama untuk menceritakannya padaku.
Bahkan, Atul yang di pesantren rela menabung uang sakunya untuk membeli majalah
Bobo edisi khusus Harry Potter, dan mengirimkannya padaku.
Kupikir, J.K Rowling, penulis novel HP itu seorang laki-laki. Tapi aku
salah. J.K Rowling adalah seorang perempuan. Dari situ, aku pun mengidolakan
J.K Rowling.
Dulu, saat aku masih SD, aku ingin sekali menjadi seorang dokter.
Setiap tetehku menanyakan padaku, apa cita-citaku, aku akan menjawabnya, “Jadi
Dokter!”. Aku merasa, dengan aku menjadi dokter, jika umi atau abah sakit,
akulah yang akan mengobatinya. Tapi, semakin berjalannya waktu, aku tak pernah
berpikir lagi untuk menjadi dokter. Membayangkannya pun tidak terbayang. Aku
berpikir untuk mengubah cita-citaku sejak aku sering membaca secara diam-diam
novel-novel atau komik perpustakaan sekolah tetehku yang ia pinjam dan di bawa
ke rumah. itoh suka tidak senang jika aku ikut membaca buku-buku pinjamannya.
Makanya aku sering bangun tengah malam dan membacanya tanpa suara. Aku sering
ketahuan. Itoh memarahiku dan menuduhku seperti kalong. Aku tak pernah
menanggapinya. Hal itu sering ku ulangi demi mengobati rasa penasaranku.
Awalnya, aku terkagum-kagum oleh Pipiet Senja lalu beralih mengagumi
Asma Nadia dan sekarang beralih pada J.K Rowling. Menurutku, mereka semua
adalah para penulis wanita yang luar biasa. Aku tahu, Pipiet senja adalah
penulis yang mengidap penyakit tallasemia. Dan ia bertahan hidup dengan
menghasilkan tulisan tulisannya yang menggugah hati. Begitu pula dengan Asma
Nadia. Terlahir dari keluarga miskin yang sangat mencintai buku. Walaupun tak
memiliki uang, beliau bersama saudaranya yang juga saat ini menjadi penulis,
Helvy Tiana Rosa, selalu berusaha untuk membeli buku. Dan kini mereka
menghasilkan buku-buku yang dulu, mereka tak mampu membelinya.
Lain lagi dengan J.K Rowling. Ia menulis dengan hatinya untuk berusaha
melupakan masalah perceraiannya. Bagaimana aku tidak kagum? Cerita fiktif yang
ia buat tentang dunia sihir itu benar-benar spektakuler. Ia menulis tidak hanya
dengan imajinasinya yang kuat. Tapi ia pun mengimbanginya dengan berbagai
refrensi. Dengan sangat kreatifnya ia mengemas sebuah cerita dari berbagai
legenda di dunia dan menyatukannya. Ia juga dengan cerdiknya mengotak-atik
berbagai bahasa di dunia untuk ia jadikan sebuah mantra yang berarti. Bahkan ia
pun pergi ke suatu tempat untuk survei yang kemudian tempat itu ia jadikan
salah satu setting dalam novelnya. Cerita yang di buat Rowling, walaupun itu
hanya fiktif, tapi ia berhasil menjadikannya seperti nampak nyata ada di dunia
ini. Ia pun menyihir hampir semua kalangan di berbagai negara di dunia untuk
mengagumi karyanya.
Aku pun memantapkan diriku. Aku ingin menjadi seorang penulis. Aku
ingin seperti mereka. Seperti penulis-penulis yang ku idolakan. Aku akan
menjadi seperti mereka. Tak peduli apa dan bagaimana caranya. Yang terpenting
saat ini, aku mesti semakin banyak melahap buku dan mengasah kemampuanku
menulis.
-oOo-
“Septi, kamu saya tantang berani nggak?”kata pak Dedi saat pelajarannya.
“bapak nantangin saya apa?” aku balik tanya.
“saya mau kamu dapetin nem diatas 30 dan kamu masuk Smansa...”kata pak
Dedi. Smansa? Oh..SMA favorit di daerah serang itu..aku menggigit bibir.
“kalau kamu berhasil, kamu mau apapun insyaallah saya turutin,
deh...saya percaya kamu bisa. Ya kan?”
“saya pernah menantangi hal yang sama pada salah satu anak didik saya di
MY. Bedanya saya nantangin dia ke BPK. Dan ternyata dia berhasil...”cerita pa
Dedi.
“trus, dia minta apa ke bapak?”tanya Didi.
“dia minta saya jungkir balik di lapangan basket siang-siang. Ya mau
ga mau saya lakuin..anak-anak pada bingung ngeliatin saya. Ngapain coba jungkir
balik ga keruan di lapangan?”
Kami tertawa mendengarnya.
Walau pada akhirnya aku tak dapat menyanggupi tantangan itu, aku tak
pernah melupakannya. Gara-gara itu, aku jadi sadar akan diriku. Aku sering tak
berani melakukan terobosan baru. Aku selalu minder dan mengatakan kalau aku ini
tidak bisa apa-apa. Pak Dedi, orang yang hampir kubenci, ternyata ia adalah
orang pertama yang mengakui kalau aku memiliki kemampuan dengan terbuka. Ia
percaya padaku kalau aku punya kemampuan.
“kenapa kamu berpikir kalau kamu nggak bisa apa-apa? pernah nggak
berpikir kalau kamu itu sudah memiliki keberanian? Mungkin kamu pernah nggak
menyangka kalau kamu pernah membawakan suatu acara di depan banyak orang? Kamu
pernah berdiri di hadapan banyak orang dan bericara dengan begitu lancarnya
layaknya seorang MC tanpa canggung sedikitpun. Kamu ingat tidak? Waktu itu,
sesaat setelah upacara hari pendidikan? Setelah kamu menyanyi dan membaca
puisi? Kamu naik ke podium begitu saja. Bukankah itu sebuah kemampua ? tidak
banyak orang yang bisa seperti itu. Sadarkah kamu??” aku menatap pak Dedi tak
percaya. Ternyata ia memperhatikanku. Aku sendiri tidak sadar kalau aku pernah
melakukan hal itu.
Iya, aku ingat. Waktu itu ada upacara hari pendidikan. Bu gusrina,
pembina osis, atas saran bu Suhriyah dan
bu Susi, guru bahasa indonesiaku, memintaku untuk membuat puisi tentang guru
dan di bacakan di sela-sela nyanyian padus berjudul hymne guru. Aku membuat
puisinya hari itu juga. Satu jam sebelum acara. Setelah upacara selesai, aku
memang mengisi acara potong kue untuk para guru, persembahan dari kami,
pengurus osis dan mpk.
Pak Dedi,
Beliau guru favoritku.
-oOo-
0 comments
EmoticonEmoticon