Septi (berkerudung putih) saat pelatihan wartawan cilik di Rumah Dunia tahun 2010 |
#
CHAPTER 1 #
“Bacain, sih...”. pintaku pada Atul, tetehku yang usianya hanya
terpaut setahun di atasku. Aku menyodorkannya sebuah majalah Bobo. Majalah Bobo
adalah majalah favoritku yang sering abah sisakan dari menjual korannya. Lalu
dengan senang hati Atul membacakannya untukku.
“Pada suatu hari di kerajaan peri hutan, terjadi kejadian yang sangat
aneh...”aku mendengarkannya dengan saksama. Namun tiba-tiba nada suara Atul
tidak seperti layaknya membacakan cerita. Ia membacakanku cerita sambil
bernyanyi. Tentu saja membuatku mengerutkan kening dan kemudian memintanya
untuk serius. Atul menyeringai. Ia pun melanjutkan bacaan ceritanya. Tapi tak
lama kemudian ia melakukan hal yang sama, membacakan cerita dengan dilagukan. Terus hingga
berulang-ulang sampai aku kesal dan akhirnya memukulnya, lalu pergi sambil
membawa majalah Boboku.
Itulah yang terjadi saat aku masih berusia kira-kira empat-lima tahun.
Aku belum bisa membaca. Tapi aku selalu ingin tahu apa isi tulisan yang ada di
majalah, koran atau buku apapun. Satu-satunya orang yang aku harapkan adalah
Atul. Ia sudah masuk TK dan sudah bisa membaca pula. Sialnya, Atul sering
menggodaku. Barulah, ketika aku telah masuk TK, aku sudah jarang minta di bacakan
cerita lagi oleh Atul. Bukan karena aku sudah bisa membaca, tapi karena duniaku
beralih dari membaca ke mewarnai, merangkai benda, juga bernyanyi. Aku suka
mewarnai di sekolah. aku juga suka menyambung titik-titik menjadi garis yang
nantinya akan membentuk sebuah benda, angka, atau huruf. Setiap pulang sekolah,
aku langsung menaruh tasku dan mengeluarkan bukuku. Aku akan melanjutkan
pekerjaan sekolah, atau sekadar menggambar sambil bernyanyi. Menyanyikan
lagu-lagu yang di ajarkan ibu guru. Hal itu kulakukan sampai sore. Malamnya aku
pun terlelap karena kelelahan. Aku begitu asik dengan dunia baruku itu.
Sampai-sampai, aku menderita sakit typus dan harus di larikan ke rumah sakit.
Aku sering lupa makan bila sudah asik dengan aktifitasku.
Aku tak tahu, apa yang selanjutnya terjadi. Suatu ketika, malam hari
di rumah sakit, aku yang sedang tertidur, mendengar ibuku menangis. Aku pun
terbangun. Ibuku langsung memelukku dan mengajakku pulang. Aku sangat bingung
karena itu begitu tiba-tiba. Bahkan aku tahu, bahwa saat itu ibuku pun sedang
di rawat di rumah sakit yang sama karena penyakit livernya yang kambuh. Mungkin
karena terlalu lelah merawatku.
Beberapa hari setelah kepulanganku dari rumah sakit, Atul pun
menceritakan padaku apa yang sudah terjadi pada malam itu, di mana aku langsung
di bawa pulang dengan tiba-tiba.
“Kata dokter, kamu udah mau mati. Ga bisa di tolongin lagi. Makanya
umi yang di kasih tau sama abah, umi
langsung nyabut jarum inpus di tangannya terus lari ke kamar kamu sambil
nangis...”
Alloh...ternyata saat itu aku tengah mengalami koma hampir seharian
dan dokter memprediksikan bahwa usiaku
tidak panjang. Namun, dokter salah. Alloh masih memberiku kesempatan untuk
melanjutkan hidupku. Tepat saat umi datang, aku sadar dari koma. Dan bahkan aku
masih bernapas sampai saat ini. Tidak kurang satu apapun.
-oOo-
Saat TK, aku memang masih belum bisa membaca. Hingga aku masuk ke kelas
satu di sebuah sekolah dasar negeri di kota cilegon. Sewaktu pergantian cawu
satu ke cawu dua, kami di tanya oleh guru wali kelas satu-persatu, apa sudah
bisa baca? Aku mengangguk. Aku bilang, Ya. Aku bisa. Walau pada kenyataannya
aku hanya bisa mengeja. Tapi aku terlalu malu untuk mengatakan kalau aku baru
bisa mengeja. Sementara teman-temanku sudah pada bisa membaca. Namun, ternyata
keyakinanku itu ada hasilnya. Akhirnya aku bisa membaca dengan lancar ketika
menginjak cawu dua. Bahkan saat pembagian rapot di akhir cawu, aku berhasil
menembus peringkat tujuh. Dan itu bertahan di cawu tiga, kenaikan kelas.
Kenaikan kelas bersamaan dengan pindah rumahnya kami dari seneja timur
ke sebuah lingkungan temu putih yang tepatnya di rokal. Kami menempati sebuah
bedeng bernomor 04 yang ada di Rt 04 Rw 04. Lagi, aku tidak tahu kenapa, saat
itu abah berhenti bekerja dari menjual koran. Abah menganggur. Umi harus
kelimpungan mencari hutang sana-sini demi mengisi perut dan membiayai sekolah
ke lima anaknya.
Aku jadi suka merasa minder di sekolah karena aku tidak punya buku
paket. Aku harus meminjam atau ikut numpang melihat ke teman sebangku. Aku
sering kepikiran, bagaimana jika ada pe er ? jika ada pe er, aku harus pinjam
dan mengerjakannya saat itu juga. Atau jika tidak sempat, besok pagi-pagi aku
akan mengerjakannya di sekolah.
Sejak kecil, aku tidak suka di beri uang jajan. Kalau aku sudah
benar-benar kepingin, baru aku akan minta. Itu pun dengan berusaha merayu umi
agar mau memberi uang. Hal itu juga berlaku dengan kakak-kakaku. Sewaktu abah
masih bekerja, saat sekolah masing-masing dari kami di beri uang seribu. Lima
ratus untuk sangu, dan lima ratusnya lagi untuk ongkos pulang naik ojek.
berangkat sekolahnya, kami jalan kaki pagi-pagi dengan jarak sekitar lima
kilometer dari rumah. Tapi setelah abah menganggur, tak ada lagi jatah sangu ke
sekolah. beruntung rumah kami pindah dekat sekolah, jadi aku dan ke dua tetehku
tak perlu berjalan jauh apalagi mengongkos. Tapi tidak bagi dua orang kakakku
yang lain. Saat itu keduanya baru masuk SMP. Dan sekolah mereka lumayan jauh.
Saat aku naikan kelas tiga, adikku lahir. Ia lahir di hari kamis malam
jumat tanggal 04 juli 2002. Menurutku, adikku yang di beri nama NUR AIDA
HIDAYATI atau yang berarti Cahaya Keberuntungan Petunjuk Allah itu memiliki
wajah yang cantik walaupun dengan sedikit tidak sempurna. Ida lahir dengan
bibir bagian atasnya sedikit membelah. Kata ibu guruku, anak yang lahir seperti
itu lantaran kekurangan gizi saat di kandungan.
Hufft...walau begitu, ida tumbuh begitu cepat dan ia anak yang cerdas.
Sejak bayi, ia tidak akan mau menyusu jika umi tidak membacakan basmallah
untuknya terlebih dahulu. ia juga hafal surat alfatihah dan doa iftitah saat
usianya belum genap tiga tahun. Sesuai namanya, ida memang keberuntungan bagi
keluarga kami. Kami, adalah saksi dari terkabulnya doa-doa yang sering ia
panjatkan dengan sangat polosnya.
Aku merasa, walaupun hidupku di tengah kekurangan, aku masih bersyukur
karena merasa bahagia dengan keluarga.
-oOo-
Aku sedih, takut dan bingung. Aku tak punya buku untuk di pakai di
sekolah karena umi belum punya uang juga untuk membelikan buku. Aku sudah punya
hutang di sekolah karena sppku menunggak entah berapa bulan. Aku belajar
seadanya. Aku kurang begitu mengerti dengan pelajaran matematika. Aku sering
mendapat nilai buruk. Banyangkan! Di rapot semester satu kelas tiga, aku
mendapat angka merah untuk pelajaran berhitung itu. Aku begitu ngeri
melihatnya. Tak mau kubuka-buka lagi.
Hari pertama masuk semester dua di kelas tiga, aku terlambat, sehingga
membuatku tak kebagian tempat duduk. Aku pun harus duduk dengan seseorang teman
laki-laki yang nakal. Ferlian namanya. Aku takut padanya. Ferlian suka
marah-marah jika ada yang mengusiknya. Makanya, aku selalu tetap berada di
tempatku sampai ia pergi dari tempat duduknya. Aku terlalu takut untuk permisi
padanya mau lewat. Sampai-sampai, saking ingin keluar dari tempat dudukku, aku
harus lewat kolong meja untuk keluar karena ferlian tidak juga pergi dari
tempat duduknya yang ada di pinggir. Tiga hari saja, aku sudah merasa tersiksa
duduk dengannya.
Beruntung, di hari ke empat, kelasku kedatangan anak baru. Namanya
Anna. Anna adalah gadis berkerudung yang pindah sekolah, karena rumahnya juga
pindah. Saat itu, pagi-pagi, Anna sudah duduk manis di bangkuku dan Ferlian.
Aku sedikit terkejut. tapi aku masa bodoh, toh yang diambil kursinya ferlian,
bukan kursiku. Aku duduk di sebelahnya. Ferlian sering datang agak siangan, di
saat bel masuk hampir berbunyi. Ia terkejut karena kursinya di pakai oleh orang
asing. Karena segan, ia tidak marah pada Anna, tapi ia hanya mengomel bersama
teman-temannya. Akhirnya, Ferlian mengambil kursi baru dan ikut duduk bersama
temannya, tidak lagi bersamaku. Aku duduk sebangku dengan Anna.
Hmm..ternyata Anna anak seorang guru, dan ia lumayan pintar. Aku suka
bertanya hal-hal yang tak kumengerti pada Anna dan dengan senang hati Anna akan
menjawabnya atau mengajariku. Selain pintar, Anna juga sangat baik. Saat
pembagian rapot kenaikan kelas, aku berhasil mendapat peringkat ke sepuluh.
Anna pun menghadiahiku satu pak buku tulis. Ia bilang, ia tidak tega melihat
temannya memakai buku bekas untuk sekolah. aku terharu mendengarnya. Ternyata
selama ini ia memperhatikanku. Anna tidak hanya pintar dan baik, ia orang yang pengertian.
Ia bukan orang yang pelit. Ia selalu mengajakku menemaninya jajan. Karena aku
tidak punya uang saku, aku pun hanya menemaninya. Tapi Anna dengan royalnya
berbagi denganku. Selalu seperti itu setiap hari.
Melihat Anna yang berkerudung ke sekolah, membuatku iri. Sejak kecil,
aku suka sekali melihat perempuan berkerudung. Apa lagi ibuku juga berkerudung.
Dengan berkerudung, mereka terlihat anggun, nyaman, dewasa...pokoknya enak di
pandang. Dan aku selalu bercita-cita seperti mereka. Tapi, berhubung umi
lagi-lagi tak punya cukup uang untuk sekadar membelikan seragam panjang dan
kerudung untukku. Tapi keinginanku untuk ikut berkerudung tak bisa kutahan
lagi. Aku pun nekat memakai kerudung instan putih satu-satunya milik Itoh,
tetehku ke sekolah. Aku pakai kerudung dengan seragam yang masih pendek.
Sungguh malu memakainya di sekolah. teman-temanku mulai mengejekku. Katanya aku
sok alim, pakai kerudung tapi seragamnya pendek, ikut-ikutan Anna dsb, dll,
dst, dkk...
Hanya seminggu aku bertahan.
Aku tak kuat di ejek. Dan aku pun sempat rebutan kerudungnya dengan
tetehku untuk di pakai ke sekolah. dan aku pun kembali ke semula. Menanggalkan
kerudungku dengan terpaksa.
-oOo-
Persahabatanku dengan Anna berlanjut di kelas empat. Kami sekelas
lagi. Anna masih sama seperti waktu itu. Ia dengan sabarnya mengajariku
matematika. Ia juga masih suka mengajakku jajan dan berbagi denganku.
Tapi..tahukah?persahabatan kami merenggang ketika kami naik kelas
lima. Kami pisah kelas. Anna di kelas 5A dan aku di kelas 5B. kami jarang
bersama lagi. Anna pun sudah punya teman baru yang dekat dengannya. Aku hanya
bisa tersenyum kecut setiap berkesempatan bertemu dengannya. Hubungan kami
semakin merenggang karena di kelas selanjutnya kami masih tak bersama. Bertegur
sapa pun sudah jarang di lakukan. Lebih memilih pura-pura tidak melihat. Jujur,
menyadari itu aku sangat sedih. Bagaimanapun, Anna adalah sahabat pertamaku.
Teman yang mengerti aku. Aku sering bertanya-tanya, apakah aku tidak pantas
berteman lagi dengannya atau apa, entahlah. Yang pasti, saat aku kelas enam,
aku masih merasa sangat bahagia. Aku dapat seragam panjang bekas Atul, tetehku
yang sudah lulus SD dan melanjutkan ke sebuah pesantren di daerah serang. Saat
itulah, aku mengazzamkan diriku, bahwa aku tidak akan lagi menanggalkan
kerudungku. Dan aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk menutup auratku
dengan benar.
-oOo-
0 comments
EmoticonEmoticon